MURAL DAN LINGKUNGAN KOTA
Ketika mural dihubungkan dengan keseimbangan lingkungan, maka mural
diharapkan mampu membawa dampak yang cukup besar pada perkembangan kota.
Sekarang di tengah arus budaya urban yang sangat tinggi serta tingkat
kepadatan masyarakat kota, perkembangan mural bisa dihubungkan dengan
memperindah sudut pandang kota yang ‘hilang’ akibat padatnya pengguna
jalan raya, tingginya pemilik kendaraan bermotor hingga kemacetan yang
terjadi. Begitu pula dengan lingkungan yang tidak seimbang akibat
penebangan pohon yang sebenarnya difungsikan sebagai paru-paru kota
menambah panasnya hunian serta tingkat polusi yang tinggi. Hal demikian
dimanfaatkan oleh mural dengan ‘menawarkan’ alternatif bagi mata untuk
menangkap kesan estetik ketika hal itu tidak ditawarkan oleh bangunan
kota, papan iklan maupun estetiknya mobil keluaran terbaru.
Dalam politik kota yang semrawut, penggagas proyek mural
berbicara tentang kota yang memerlukan sentuhan seni rupa mutakhir. Hal
ini menunjukkan kegelisahan para perupa kontemporer untuk mencari kaitan
antara wacana seni rupa dan kehidupan kota sebagai representasi
keseharian. Mengapa kota-kota kita menjadi arena bagi kekerasan massa,
dan kita menjadi semakin tidak peduli dengan kehadiran serta kebutuhan
manusia lain? Kota sudah memasuki fase pelupa. Pada saat yang sama kota
telah berubah menjadi rimba tanda-tanda yang mengubur sejarah kotanya
sendiri dan kota tidak lagi sarat dengan kenangan lama yang menjadi
saksi berkembangnya kota dari hari ke hari. Hal inilah yang menjadi
dasar alasan yang kuat mengapa mural dilakukan.
SIMPULAN
Komunikasi visual tidak serta merta hanya mampu memberikan pemecahan
terhadap permasalahan yang ada dan hanya berkaitan dengan eksekusi
visual, namun juga mampu memilih media yang tepat dan relevan untuk
membangun komunikasi dengan masyarakat. Mural adalah salah satu media
yang efektif dan akhir-akhir ini dijadikan media penyampai pesan secara
visual.
Mural selain dilihat sebagai produk budaya massa, yang dikerjakan
secara team work kemudian berkembang kepada penggerakan massa untuk
menyampaikan pesan secara bersama-sama, juga dilihat dari konteks
ekspresi budaya. Sekarang, mural berkembang tidak hanya menyampaikan
pesan secara sosial namun juga ada yang ke arah komersial (seperti mural
iklan A-Mild, Flexi, Rinso, dll). Budaya konsumerisme inilah yang
mendorong terciptanya media yang tidak konvensional dan lebih mengena
kepada target market.
Munculnya berbagai gerakan budaya pada era ’60-an di Barat, seperti gerakan anak muda, gerakan feminisme, gerakan subkultur (hippies, punk
dan sebagainya), gerakan komunal, gerakan lingkungan dapat dilihat
dalam kerangka bangkitnya ‘narasi-narasi kecil’ sebagaimana yang
dikatakan Lyotard (Piliang, 2002:10). Sebagai sebuah reaksi atau
penolakan terhadap berbagai kemapanan, otoritas, dan kekuasaan yang
membentuk masyarakat sebelumnya, gerakan narasi-narasi kecil ini
merupakan upaya untuk mendefinisikan kembali ‘ideologi’ sebagai bingkai
pembentuk identitas individu dan masyarakat dalam bentuknya yang baru.
Mural dalam kehidupan masyarakat Jogjakarta yang notabene hidup dalam
semangat kebudayaan yang tinggi serta terbuka pada semua kehidupan seni
diterima sebagai gerakan budaya yang berupaya menggeser peran ideologi
sebagai sebuah bingkai kehidupan sosial menjadi bingkai kehidupan
kultural, artinya ideologi yang terdapat dalam seni mural kini menjadi
acuan dalam melakukan berbagai ekspresi budaya.
Kota sebagai salah satu tujuan dalam seni mural berupaya dihidupkan
lagi setelah ‘dimatikan’ oleh perkembangan industri dan berbagai dampak
yang mengikutinya. Kerusakan ekologi yang dimunculkan dalam bentuk
kepulan asap kendaraan bermotor, panasnya cuaca akibat tidak adanya lagi
pohon-pohonan, dinding kota yang tak terawat serta segala bentuk
kebisingan ‘disegarkan’ kembali oleh mural yang kaya warna dan kaya
interpretasi dalam segala aspek visualnya. Seni mural menjadi salah satu
alternatif yang dapat dijadikan sebagai penyeimbang lingkungan ketika
lingkungan kota tidak memberi lagi kesegaran bagi panca indera secara
lengkap, namun dengan kehadiran mural, minimal mata sudah menjadi indera
yang dapat menikmati keindahan kota yang dihiasi dengan segala macam
imajinasi yang tergambar dalam mural.
Kalaupun produk yang diangkat dengan memakai media mural, maka
diusahakan hal tersebut tidak mengganggu proses relasi antara manusia
dengan lingkungannya. Kehidupan iklan yang semrawut
diindikasikan dapat mengganggu keselarasan tersebut. Karena itulah
proses imajinasi antara produk iklan yang diangkat harus mencerminkan
‘kerinduan’ kebebasan imajinasi masyarakatnya mengenai idealnya kota dan
masyarakat kota. Hal ini merupakan tantangan bagi advertising agency yang menggunakan media mural sebagai penyampai pesan iklan.
skip to main |
skip to sidebar
Minggu, 19 Mei 2013
Che Guevara
Che Guevara adalah tokoh yang paling sering diangkat dalam karya mural di samping tentu saja Fidel Castro.Bagi
penduduk Kuba, Che Guevara adalah pahlawan yang hidup selamanya. Mural
di Kuba juga sebagai media doktrinasi dari ideologi sosialis yang dianut
negara tersebut. Karena itu tidak heran mural yang menggambarkan tokoh
sosialis maupun pahlawan mereka pun juga dipasang di sekolah dasar di
Kuba
Politik
Mural dengan pesan politik di Jogjakarta mewarnai pada beberapa
wilayah. Yang cukup menonjol adalah mural dari partai politik dengan
logo sebagai point of interest-nya. Partai politik yang memanfaatkannya
adalah PDI Perjuangan dan PAN. Partai politik yang berani melakukan hal
ini biasanya adalah wilayah dengan basis partai yang kuat. Seperti di
wilayah Langenastran ada dinding besar dicat merah bergambarkan orang
yang memakai pakaian khas Jogja dengan blangkon di kepala
sedang berdiri dengan sikap seperti pagar bagus atau penerima tamu dalam
pesta pernikahan Jawa. Di samping orang tersebut logo PDIP terpampang
tanpa ada teks penjelas.
Bentuk mural seperti ini sering juga dilakukan tidak hanya di Jogjakarta tetapi juga di kota lain yang mempunyai massa terbesar partai politik di suatu daerah tertentu. Pesan kritik sosial politik yang non partisan tidak mudah ditemui, namun graffiti yang bersifat corat-coret mudah sekali ditemui pesan yang bernada kritik sosial politik. Bisa jadi karena graffiti lebih bersifat spontan daripada mural yang membutuhkan perencanaan visual. Mural dengan pesan sponsor dari partai politik biasanya menjamur ketika musim Pemilu tiba.
Hal ini tentu bertolak belakang bila melihat mural yang dibuat oleh negara-negara sosialis maupun negara yang sedang berkecamuk. Mural bagi negara-negara tersebut menyuarakan pada kepatuhan terhadap ideologi yang dianut, dukungan kepada pemerintah hingga ajakan untuk melawan pemerintah. Kuba sebagai sebuah negara sosialis mural mudah ditemui di jalan-jalan utama sebagai bentuk penyanjungan kepada penguasa maupun pahlawan-pahlawan mereka.
Bentuk mural seperti ini sering juga dilakukan tidak hanya di Jogjakarta tetapi juga di kota lain yang mempunyai massa terbesar partai politik di suatu daerah tertentu. Pesan kritik sosial politik yang non partisan tidak mudah ditemui, namun graffiti yang bersifat corat-coret mudah sekali ditemui pesan yang bernada kritik sosial politik. Bisa jadi karena graffiti lebih bersifat spontan daripada mural yang membutuhkan perencanaan visual. Mural dengan pesan sponsor dari partai politik biasanya menjamur ketika musim Pemilu tiba.
Hal ini tentu bertolak belakang bila melihat mural yang dibuat oleh negara-negara sosialis maupun negara yang sedang berkecamuk. Mural bagi negara-negara tersebut menyuarakan pada kepatuhan terhadap ideologi yang dianut, dukungan kepada pemerintah hingga ajakan untuk melawan pemerintah. Kuba sebagai sebuah negara sosialis mural mudah ditemui di jalan-jalan utama sebagai bentuk penyanjungan kepada penguasa maupun pahlawan-pahlawan mereka.
Ekonomi
Pesan dalam mural yang menyuarakan pentingnya ekonomi untuk kemajuan
bersama bisa dilihat pada mural dengan tema giat bekerja di seberang
Galeria Mall Jl. Jendral Sudirman Jogja. Mural yang menampilkan gambar
kaki sedang mengayuh becak serta pion yang biasa dalam permainan catur
ditampilkan sebagai kritik sosial. Masyarakat sekitar yang ternyata
lebih menyukai permainan sambil berjudi disentil melalui mural tersebut.
Pesan yang dimunculkan adalah mengajak untuk giat bekerja daripada
berharap ada durian runtuh melalui permainan judi.
Di Jogjakarta seperti halnya juga di kota lain, fenomena beriklan melalui media mural juga telah banyak. Memanfaatkan momentum dan julukan yang melekat erat, bahwa Jogja sekarang dikenal sebagai kota mural, pihak rokok seperti A-Mild mulai beriklan melalui mural di dinding jembatan layang. Belum lagi perusahaan telekomunikasi seperti Telkom Flexi dan Indosat bersaing memanfaatkan momentum di Jogja perihal mural. Tentu saja hal ini meningkatkan nilai perekonomian daerah setempat, meskipun mural yang seperti ini berdampak kuat pada citra Jogja kota budaya. Dikhawatirkan pemakaian media mural sebagai media iklan semakin menambah polusi visual seperti halnya billboard. Namun bila dirunut ke belakang, produk sabun cuci, seperti Omo Biru, So Klin dan Rinso sudah lebih dulu memanfaatkan dinding masyarakat yang mau dihargai untuk dipakai sebagai media iklan melalui mural. Dinding yang dipakai biasanya dinding yang menghadap ke jalan raya, padat kendaraan dan rumah yang berlantai dua.
Di Jogjakarta seperti halnya juga di kota lain, fenomena beriklan melalui media mural juga telah banyak. Memanfaatkan momentum dan julukan yang melekat erat, bahwa Jogja sekarang dikenal sebagai kota mural, pihak rokok seperti A-Mild mulai beriklan melalui mural di dinding jembatan layang. Belum lagi perusahaan telekomunikasi seperti Telkom Flexi dan Indosat bersaing memanfaatkan momentum di Jogja perihal mural. Tentu saja hal ini meningkatkan nilai perekonomian daerah setempat, meskipun mural yang seperti ini berdampak kuat pada citra Jogja kota budaya. Dikhawatirkan pemakaian media mural sebagai media iklan semakin menambah polusi visual seperti halnya billboard. Namun bila dirunut ke belakang, produk sabun cuci, seperti Omo Biru, So Klin dan Rinso sudah lebih dulu memanfaatkan dinding masyarakat yang mau dihargai untuk dipakai sebagai media iklan melalui mural. Dinding yang dipakai biasanya dinding yang menghadap ke jalan raya, padat kendaraan dan rumah yang berlantai dua.
Estetik
Mural dengan kepentingan estetik disamping sudah pernah dilakukan untuk
kebutuhan desain interior misalnya untuk menampilkan kesan segar maupun
kesan berada dalam alam untuk menimbulkan kenyaman dari sang pemilik
rumah maupun ruangan, namun mural dengan estetik sebagai tampilan
utamanya juga dapat dilakukan di luar ruang. Mural seperti ini biasanya
merepresentasikan dari gaya visual, seperti komik, simbolik,
espressionisme hingga realisme. Mural di bekas bioskop PermataMural
tersebut menampilkan tokoh superhero yang biasa ada di film-film.
Karenanya pula mural ini digambar di dinding bekas bioskop untuk sekedar
merekonstruksi gedung yang pernah ramai disinggahi masyarakat
Jogjakarta untuk menonton film. Mural seperti ini tidak ada pesan yang
khusus disamping hanya memunculkan karakter superhero dengan tingkat
kedetilan tinggi dalam karya publik
Sosial Budaya
Hubungan sosial tergambarkan dengan ada relasi yang cukup erat antara
gambar dalam mural dengan kondisinya, misalnya mural di Jl. Ireda
(gambar 4). Mural yang terletak di jalan depan Etnik Kafé dan
bersebelahan dengan tempat pemakaman umum tersebut menjadi menarik untuk
diperhatikan. Bagaimana memunculkan mural yang bisa dekat dengan citra
kafe tetapi juga tidak menghilangkan kesan ‘nyungkani’ pada
tempat pemakaman. Mural yang dibuat pun mengambil ikon bunga yang
berwarna-warni untuk mendekatkan dengan bunga di pemakaman, tetapi
kecerahan warnanya dekat dengan citra kafe. Ikon seperti ini menjadi
ikon wilayah yang khas untuk menandai wilayah dan budaya tertentu.
Sehingga mural yang bermaksud memperbaharui lingkungan tidak harus
menghapuskan keberadaan aslinya, namun sebisa mungkin dipertahankan
sebagai ikon atau simbol suatu wilayah.
Ikon dan simbol wilayah yang terpetakan berdasarkan di daerah manakah mural di buat juga menjadi kekhasan tersendiri. Mural di Jakarta akan berbeda dengan mural di Bandung maupun mural di Jogjakarta berdasarkan pengambilan ikon tertentu. Ikon tokoh dalam pewayangan yang lebih dekat dengan Jogjakarta akan diambil untuk menandai wilayah tersebut (Gambar 5). Hal ini untuk memunculkan kultur khas dari suatu wilayah, sehingga mural tidak sekedar media seni rupa yang berbicara tanpa pesan namun mampu memunculkan identitas kota. Hal yang cukup strategis dan jitu adalah mural di bawah jembatan layang Lempuyangan. Kereta api yang masuk atau meninggalkan kota Jogjakarta akan segera mengetahui, bahwa mereka telah memasuki atau meninggalkan Jogja. Hal ini penting sebagai penanda visual yang memiliki identitas lokasi tujuan.
Ikon dan simbol wilayah yang terpetakan berdasarkan di daerah manakah mural di buat juga menjadi kekhasan tersendiri. Mural di Jakarta akan berbeda dengan mural di Bandung maupun mural di Jogjakarta berdasarkan pengambilan ikon tertentu. Ikon tokoh dalam pewayangan yang lebih dekat dengan Jogjakarta akan diambil untuk menandai wilayah tersebut (Gambar 5). Hal ini untuk memunculkan kultur khas dari suatu wilayah, sehingga mural tidak sekedar media seni rupa yang berbicara tanpa pesan namun mampu memunculkan identitas kota. Hal yang cukup strategis dan jitu adalah mural di bawah jembatan layang Lempuyangan. Kereta api yang masuk atau meninggalkan kota Jogjakarta akan segera mengetahui, bahwa mereka telah memasuki atau meninggalkan Jogja. Hal ini penting sebagai penanda visual yang memiliki identitas lokasi tujuan.
Mural: Fungsi dalam komunikasi visual
Mural tidak hanya berdiri sendiri tanpa kehadiran ribuan makna. Bagi
pembuatnya, ada pesan-pesan yang ingin disampaikan melalui mural. Ada
pesan dengan memanfaatkan kehadiran mural dengan mencitrakan kondisi
sekelilingnya, diantaranya mural hanya untuk kepentingan estetik, untuk
menyuarakan kondisi sosial budaya, ekonomi dan juga politik.
Melukis di Dinding
Proses memunculkan citraan atau imaji terbentuk dari gambar. Melukis
adalah memvisualkan atau mengeksekusi secara estetik kaidah-kaidah dalam
seni rupa. Melukis di dinding (mural) secara prinsip berbeda halnya
dengan melukis di kanvas. Lukisan di atas kanvas, sejak pertama mulai
dipraktekkan di masa Renaisans dianggap membawa serta semangat
pembaharuan dan cita-cita modern. Berbeda dengan tradisi mural yang
sarat dengan pesan dan nilai keyakinan adat bersama maupun pemahaman
karakteristik sosial, melukis pada kanvas lebih mencirikan semangat
individual. Sejak saat itu pula nama pembuatnya (sang pelukis) jadi
dikenal, nama itu dianggap penting: sebagai pencipta.
Lukisanpun punya ‘tempat’ khusus dan mandiri (yaitu kanvas), jadi ‘objek’, hingga bisa bergerak dipindahkan dari satu tempat ketempat lain; lukisan tak lagi terikat pada tempat yang sudah punya cerita dan pesan (misalnya, gereja). Lukisan tercipta mandiri. Maka arti yang bisa dikandung sebuah lukisan pun dianggap mandiri, berhubungan dengan kebebasan sang senimannya (Zaelani, 2004).
Hal lainnya adalah pada kerjasama tim yang ada dalam proyek mural. Hampir tidak ada karya mural hasil dari satu orang seniman, hal demikian tidak hanya melibatkan orang lain dalam mempersiapkan kerja kasar saja, namun juga melibatkan orang lain dalam melakukan brainstorming serta sekaligus mengeksekusi. Dalam perspektif seni rupa populer atau seni rupa massa, maka mural mampu membentuk masyarakat homogen yang bisa dengan cukup memiliki solidaritas bersama hingga bisa memiliki cita rasa dominan.
Dinding yang dipakai sebagai media dalam mural yang biasa dipakai adalah dinding penyangga jembatan layang, tembok sisi sungai dan tembok rumah pinggir jalan yang dibiarkan tidak terawat. Sedangkan di Jogja, dinding yang dipakai adalah tembok di gang-gang kampung yang dikerjakan dengan cara beramai-ramai oleh masyarakat setempat. Sebelum ada mural tembok-tembok tersebut terlihat kotor, meskipun bersih pun warna putih terlihat mencolok mata terutama pada siang hari dan terkesan monoton. Namun dengan adanya mural mulai terbentuk citra ke arah pembaharuan visual sehingga berkesan fresh dan lebih berwarna.
Lukisanpun punya ‘tempat’ khusus dan mandiri (yaitu kanvas), jadi ‘objek’, hingga bisa bergerak dipindahkan dari satu tempat ketempat lain; lukisan tak lagi terikat pada tempat yang sudah punya cerita dan pesan (misalnya, gereja). Lukisan tercipta mandiri. Maka arti yang bisa dikandung sebuah lukisan pun dianggap mandiri, berhubungan dengan kebebasan sang senimannya (Zaelani, 2004).
Hal lainnya adalah pada kerjasama tim yang ada dalam proyek mural. Hampir tidak ada karya mural hasil dari satu orang seniman, hal demikian tidak hanya melibatkan orang lain dalam mempersiapkan kerja kasar saja, namun juga melibatkan orang lain dalam melakukan brainstorming serta sekaligus mengeksekusi. Dalam perspektif seni rupa populer atau seni rupa massa, maka mural mampu membentuk masyarakat homogen yang bisa dengan cukup memiliki solidaritas bersama hingga bisa memiliki cita rasa dominan.
Dinding yang dipakai sebagai media dalam mural yang biasa dipakai adalah dinding penyangga jembatan layang, tembok sisi sungai dan tembok rumah pinggir jalan yang dibiarkan tidak terawat. Sedangkan di Jogja, dinding yang dipakai adalah tembok di gang-gang kampung yang dikerjakan dengan cara beramai-ramai oleh masyarakat setempat. Sebelum ada mural tembok-tembok tersebut terlihat kotor, meskipun bersih pun warna putih terlihat mencolok mata terutama pada siang hari dan terkesan monoton. Namun dengan adanya mural mulai terbentuk citra ke arah pembaharuan visual sehingga berkesan fresh dan lebih berwarna.
Definisi dan Sejarah Mural
Mural menurut Susanto (2002:76) memberikan definisi sebagai lukisan
besar yang dibuat untuk mendukung ruang arsitektur. Definisi tersebut
bila diterjemahkan lebih lanjut, maka mural sebenarnya tidak bisa
dilepaskan dari bangunan dalam hal ini dinding. Dinding dipandang tidak
hanya sebagai pembatas ruang maupun sekedar unsur yang harus ada dalam
bangunan rumah atau gedung, namun dinding juga dipandang sebagai medium
untuk memperindah ruangan. Kesan melengkapi arsitektur bisa dilihat pada
bangunan gereja Katolik yang bercorak Barok yang melukis atap gereja
yang biasanya berupa kubah dengan lukisan awan dan cerita di Alkitab.
Mural juga berarti lukisan yang dibuat langsung maupun tidak langsung pada permukaan dinding suatu bangunan, yang tidak langsung memiliki kesamaan dengan lukisan. Perbedaannya terletak pada persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh lukisan dinding, yaitu keterkaitannya dengan arsitektur/bangunan, baik dari segi desain (memenuhi unsur estetika), maupun usia serta perawatan dan juga dari segi kenyamanan pengamatannya (2002: 76).
Mural juga berarti lukisan yang dibuat langsung maupun tidak langsung pada permukaan dinding suatu bangunan, yang tidak langsung memiliki kesamaan dengan lukisan. Perbedaannya terletak pada persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh lukisan dinding, yaitu keterkaitannya dengan arsitektur/bangunan, baik dari segi desain (memenuhi unsur estetika), maupun usia serta perawatan dan juga dari segi kenyamanan pengamatannya (2002: 76).
Mural Jogja
Di Jogjakarta, mural merebak di sekitar tahun 2003 seiring dengan
gagasan konsep dari Apotik Komik (dikoordinasi oleh seniman publik
Samuel Indratma) yang menghias kota dengan lukisan-lukisan di tembok
kota dan terlebih dahulu dipresentasikan di depan walikota Jogja.
Beberapa seniman mural dari Amerika Serikat kemudian diundang untuk
berpartisipasi dalam projek tersebut.
Mural yang menghiasi Jogja dilakukan di beberapa lokasi, seperti di timur Mal Galeria, Jembatan Layang Tukangan, Jalan Perwakilan, Jalan Kleringan Stasiun Tugu dan sekarang meluas ke kampung-kampung, seperti di daerah Wirobrajan, Sayidan, Langenastran dan masih banyak lagi. Seolah-olah mural di Jogjakarta sudah menjadi identitas kota dalam memperindah lingkungannya.
Dalam hubungannya dengan ruang publik kota, mural mencoba mengkritisi ruang publik kota yang telah menjadi ajang pertarungan berbagai macam kepentingan. Para seniman mural ini bermaksud untuk mengembalikan kembali ruang publik kepada masyarakat untuk dijadikan salah satu medium untuk merekatkan hubungan-hubungan sosial antar masyarakat.
Tulisan ini bertujuan untuk menggali fungsi komunikasi visual melalui mural dalam memecahkan masalah ekologi-estetik, bahkan sosial budaya dan politik.
Mural yang menghiasi Jogja dilakukan di beberapa lokasi, seperti di timur Mal Galeria, Jembatan Layang Tukangan, Jalan Perwakilan, Jalan Kleringan Stasiun Tugu dan sekarang meluas ke kampung-kampung, seperti di daerah Wirobrajan, Sayidan, Langenastran dan masih banyak lagi. Seolah-olah mural di Jogjakarta sudah menjadi identitas kota dalam memperindah lingkungannya.
Dalam hubungannya dengan ruang publik kota, mural mencoba mengkritisi ruang publik kota yang telah menjadi ajang pertarungan berbagai macam kepentingan. Para seniman mural ini bermaksud untuk mengembalikan kembali ruang publik kepada masyarakat untuk dijadikan salah satu medium untuk merekatkan hubungan-hubungan sosial antar masyarakat.
Tulisan ini bertujuan untuk menggali fungsi komunikasi visual melalui mural dalam memecahkan masalah ekologi-estetik, bahkan sosial budaya dan politik.
Flurry Artz
Teringat ucapan pak Muchlis seorang seniman lukis berkaca mata
bulat asal jakarta yang sempat bertemu beberapa waktu lalu di Taman
Ismail Marzuki dalam pameran lukisannya. beliau berkata "Seorang seniman itu harus peka terhadap keadaan sekitar"
dari kata2 beliau itulah saya seakan tertantang untuk membuat sebuah
karya yang menggambarkan kepekaan, maka munculah ide membuat mural
ucapan selamat ulang tahun kota Bogor yang ke 530. dibuat tengah malam
hingga subuh tepat di hari ulang tahun Bogor.
sebuah ilustrasi gambar tugu kujang yang keluar dari dalam kado ulang tahun
ditambah dengan kalimat "Wilujeng tepang Bogor nu urang" yang artinya selamat ulang tahun Bogor kita
Bujangan Urban
Batavia, Jayakarta, Indonesia
Bujangan Urban adalah Risky Aditya Nugroho. Menjadi anggota Artcoholic (Jakarta kru grafiti terkenal) sejak tahun 2003. Gairah besar pada grafiti membawanya ke pengalaman baru. Gaya pshycedelic karya seni grafiti nya telah menyebar dari dinding sekolah untuk jembatan, dari kampung halamannya ke kapal. Ia menjadi salah satu penulis paling importent di tempat kejadian Graffiti Indonesia dan mengilhami banyak anak-anak untuk mulai membuat grafiti. Kurator untuk POPO Solo Exhibition (numpang nampang) 2010 Artdirector untuk respectastreetartgalery.com (2010) Artdirector untuk GARDUHOUSE (2010) Artdirector Jakarta jalanan seni bersatu pameran (2009)
Bujangan Urban adalah Risky Aditya Nugroho. Menjadi anggota Artcoholic (Jakarta kru grafiti terkenal) sejak tahun 2003. Gairah besar pada grafiti membawanya ke pengalaman baru. Gaya pshycedelic karya seni grafiti nya telah menyebar dari dinding sekolah untuk jembatan, dari kampung halamannya ke kapal. Ia menjadi salah satu penulis paling importent di tempat kejadian Graffiti Indonesia dan mengilhami banyak anak-anak untuk mulai membuat grafiti. Kurator untuk POPO Solo Exhibition (numpang nampang) 2010 Artdirector untuk respectastreetartgalery.com (2010) Artdirector untuk GARDUHOUSE (2010) Artdirector Jakarta jalanan seni bersatu pameran (2009)
Blog Archive
Diberdayakan oleh Blogger.
Mural adalah cara menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok atau permukaan luas yang bersifat permanen lainnya.