Minggu, 19 Mei 2013

Mural dan Lingkungan Kota/Simpulan

MURAL DAN LINGKUNGAN KOTA
Ketika mural dihubungkan dengan keseimbangan lingkungan, maka mural diharapkan mampu membawa dampak yang cukup besar pada perkembangan kota. Sekarang di tengah arus budaya urban yang sangat tinggi serta tingkat kepadatan masyarakat kota, perkembangan mural bisa dihubungkan dengan memperindah sudut pandang kota yang ‘hilang’ akibat padatnya pengguna jalan raya, tingginya pemilik kendaraan bermotor hingga kemacetan yang terjadi. Begitu pula dengan lingkungan yang tidak seimbang akibat penebangan pohon yang sebenarnya difungsikan sebagai paru-paru kota menambah panasnya hunian serta tingkat polusi yang tinggi. Hal demikian dimanfaatkan oleh mural dengan ‘menawarkan’ alternatif bagi mata untuk menangkap kesan estetik ketika hal itu tidak ditawarkan oleh bangunan kota, papan iklan maupun estetiknya mobil keluaran terbaru.
Dalam politik kota yang semrawut, penggagas proyek mural berbicara tentang kota yang memerlukan sentuhan seni rupa mutakhir. Hal ini menunjukkan kegelisahan para perupa kontemporer untuk mencari kaitan antara wacana seni rupa dan kehidupan kota sebagai representasi keseharian. Mengapa kota-kota kita menjadi arena bagi kekerasan massa, dan kita menjadi semakin tidak peduli dengan kehadiran serta kebutuhan manusia lain? Kota sudah memasuki fase pelupa. Pada saat yang sama kota telah berubah menjadi rimba tanda-tanda yang mengubur sejarah kotanya sendiri dan kota tidak lagi sarat dengan kenangan lama yang menjadi saksi berkembangnya kota dari hari ke hari. Hal inilah yang menjadi dasar alasan yang kuat mengapa mural dilakukan.
SIMPULAN
Komunikasi visual tidak serta merta hanya mampu memberikan pemecahan terhadap permasalahan yang ada dan hanya berkaitan dengan eksekusi visual, namun juga mampu memilih media yang tepat dan relevan untuk membangun komunikasi dengan masyarakat. Mural adalah salah satu media yang efektif dan akhir-akhir ini dijadikan media penyampai pesan secara visual.
Mural selain dilihat sebagai produk budaya massa, yang dikerjakan secara team work kemudian berkembang kepada penggerakan massa untuk menyampaikan pesan secara bersama-sama, juga dilihat dari konteks ekspresi budaya. Sekarang, mural berkembang tidak hanya menyampaikan pesan secara sosial namun juga ada yang ke arah komersial (seperti mural iklan A-Mild, Flexi, Rinso, dll). Budaya konsumerisme inilah yang mendorong terciptanya media yang tidak konvensional dan lebih mengena kepada target market.
Munculnya berbagai gerakan budaya pada era ’60-an di Barat, seperti gerakan anak muda, gerakan feminisme, gerakan subkultur (hippies, punk dan sebagainya), gerakan komunal, gerakan lingkungan dapat dilihat dalam kerangka bangkitnya ‘narasi-narasi kecil’ sebagaimana yang dikatakan Lyotard (Piliang, 2002:10). Sebagai sebuah reaksi atau penolakan terhadap berbagai kemapanan, otoritas, dan kekuasaan yang membentuk masyarakat sebelumnya, gerakan narasi-narasi kecil ini merupakan upaya untuk mendefinisikan kembali ‘ideologi’ sebagai bingkai pembentuk identitas individu dan masyarakat dalam bentuknya yang baru.
Mural dalam kehidupan masyarakat Jogjakarta yang notabene hidup dalam semangat kebudayaan yang tinggi serta terbuka pada semua kehidupan seni diterima sebagai gerakan budaya yang berupaya menggeser peran ideologi sebagai sebuah bingkai kehidupan sosial menjadi bingkai kehidupan kultural, artinya ideologi yang terdapat dalam seni mural kini menjadi acuan dalam melakukan berbagai ekspresi budaya.
Kota sebagai salah satu tujuan dalam seni mural berupaya dihidupkan lagi setelah ‘dimatikan’ oleh perkembangan industri dan berbagai dampak yang mengikutinya. Kerusakan ekologi yang dimunculkan dalam bentuk kepulan asap kendaraan bermotor, panasnya cuaca akibat tidak adanya lagi pohon-pohonan, dinding kota yang tak terawat serta segala bentuk kebisingan ‘disegarkan’ kembali oleh mural yang kaya warna dan kaya interpretasi dalam segala aspek visualnya. Seni mural menjadi salah satu alternatif yang dapat dijadikan sebagai penyeimbang lingkungan ketika lingkungan kota tidak memberi lagi kesegaran bagi panca indera secara lengkap, namun dengan kehadiran mural, minimal mata sudah menjadi indera yang dapat menikmati keindahan kota yang dihiasi dengan segala macam imajinasi yang tergambar dalam mural.
Kalaupun produk yang diangkat dengan memakai media mural, maka diusahakan hal tersebut tidak mengganggu proses relasi antara manusia dengan lingkungannya. Kehidupan iklan yang semrawut diindikasikan dapat mengganggu keselarasan tersebut. Karena itulah proses imajinasi antara produk iklan yang diangkat harus mencerminkan ‘kerinduan’ kebebasan imajinasi masyarakatnya mengenai idealnya kota dan masyarakat kota. Hal ini merupakan tantangan bagi advertising agency yang menggunakan media mural sebagai penyampai pesan iklan.

0 komentar:

Posting Komentar